Senin, 22 November 2010

Sejarah Pers

SEJARAH PERS
Pers Indonesia dari Zaman Hindia Belanda Sampai Masa Revolusi

Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951)


BERBICARA perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.

Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.

Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.

Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.

Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa,berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita. Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara

Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.

Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.

Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.

Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.

Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan Pers kaum pribumi Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.

Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.***

Perkembangan Pers di Indonesia

BAGAIMANA dengan perkembangan koran di Indonesia? Saya membaginya ke dalam beberapa periode. Pertama, zaman kololonial, dan kedua zaman kemerdekaan. Zaman kemerdekaan ini dibagi lagi ke dalam beberapa periode, yakni zaman Soekarno (orde lama), zaman Soeharto (orde baru), dan zaman reformasi. Setiap periode, tumbuh dengan karakteristiknya sendiri-sendiri.

A. Periode Kolonial
Berdasar catatan sejarah, koran di tanah air sudah ada sejak tahun 1744, Gubernur Jendral Van Imhoff memerintah. Nama korannya Bataviasche Nouveles, namun umurnya cuma dua tahun.
Meski begitu, koran lainnya, Vendu Nieuws, kemudian terbit di Jakarta tahun 1776. Koran ini memuat segala informasi mengenai barang lelangan, mulai perabot rumah tangga hingga perdagangan budak belian.

Tapi, mingguan ini juga tak bertahan lama. Vendu Nieuws berhenti terbit karena Gubernur Jendral Deandels mengambil alih percetakan dan menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant (1810). Sayangnya koran ini pun tak lama. Inggris yang datang menggantikan Belanda membuat koran baru, Java Government Gazette sebagai corong pemerintah.

Saat Belanda kembali berkuasa semua kembali berubah. Koran berganti nama menjadi Batavische Courant (1816), yang kembali mereka ubah menjadi Javasche Courant tahun 1827. Koran ini bertahan hingga masuknya Jepang tahun 1942. Dan, seperti 'pendahulunya', Jepang pun membuat koran baru, Kenpo, yang artinya berita pemerintah.

Lantas, bagaimana dengan kiprah kaum pribumi? Keberadaan mereka ternyata juga eksis pada masa-masa ini. Beberapa di antaranya adalah Majalah Bianglala (Jakarta, 1854), Mingguan Bahasa Jawa Bromartani (1855), dan sejumlah koran berbahasa Melayu yang dikelola oleh orang Belanda asli atau peranakan.

Namun, sekalipun keberadaan koran-koran pribumi ini telah ada sejak pertengahan abad 19, kebangkitan sesungguhnya dari pers tanah air baru terjadi tahun 1904. Diawali dengan pendirian NV Javaansche Boekhandel & Drukkerij en Handel in Schrifbehoeften Medan Prijaji oleh Raden Mas Djokomono di Bandung. NV inilah yang kemudian menerbitkan mingguan Medan Prijaji, Januari 1907. Koran ini diakui sebagai koran pertama yang dibuat anak negeri, karena mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan, hingga wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Hanya dalam tempo tiga tahun koran ini berhasil terbit harian. Namun, perjalanannya berakhir, Selasa, 3 Djanuari 1912. Saat berubah menjadi harian, koran ini cetak di Jakarta.

Djokomono sendiri belakangan disebut-sebut sebagai perintis persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional Indonesia. Sementara organisasi wartawan PDI (Persatoean Djoernalis Indonesia), dikabarkan juga lahir pada masa Djokomono berkiprah.

Di Jawa Barat, sejumlah koran juga silih berganti terbit pada masa kolonial ini. Jauh sebelum Medan Prijaji terbit, di Cirebon sudah ada surat kabar Tjiremai (1890), Li Po (Sukabumi, 1901) dan Wie Sin Ho (Bogor, 1905).

Sementara di tahun-tahun berikutnya terbit Padjadjaran (Bandung, 1921), Kaoem Moeda (Bandung, 1922), Perbincangan (Bandung, 1925), Perasaan Kita (Bandung, 1925), Harian Fadjar (Bandung, 1925). Indonesia Moeda (Bandung, 1926), Fikiran Ra'jat (Bandung, 1926), dan Bidjaksana (Rangkasbitung, 1926).

Koran-koran lainnya yang juga tercatat adalah Galih Pakoean, Kesatrya, Mingguan Pertimbangan dan Kawan Kita yang terbit di Tasikmalaya. Saat yang sama terbit pula Sinar Pasoendan, Bandung, Poesaka Cirebon, Warta Tjirebon, Soeloeh Ra'jat, Soeara Poeblik, Nicork - Express, Berita Priangan, Sepakat, Koran Indonesia, dan Berita Oemoem.

Adapun, koran-koran Sunda yang tercatat pada masa ini antara lain, Sora-Merdika (Bandung, 1920), Soenda Berita, Mingguan Soenda Soemanget, Siliwangi, Pendawa, Masa Baroe, Sapoedjagad, Simpaj, Isteri Merdeka, dan koran Panglima yang terbit di Tasikmalaya. Adapun, Sipatahoenan, tercatat sebagai koran Sunda pertama yang terbit harian. Pada masa itu pula terbit Sinar Pasoendan, Tawekal, Galoeh, dan Balaka.

Sayangnya semua koran itu harus tutup pada masa pendudukan Jepang. Semua koran itu disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan Tjahaja pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.

B. Periode Soekarno
Setelah pendudukan Jepang berakhir, periode baru dimulai. Ditandai dengan terbitnya surat kabar Soeara Merdeka di Bandung, yang kemudian mengungsi ke Tasik lantaran Belanda kembali datang.

Pada masa ini, sejumlah koran juga kembali bermunculan di Jawa Barat, seperti Sinar Majalengka (1948), Warga (Bogor, 1954), dan Kalawarta Kudjang (Bandung, 1956). Sementara Sipatahoenan yang sempat terhenti penerbitannya kembali bangkit. Napasnya baru benar-benar terhenti pada tahun 1985.

Pada awal tahun 1957, majalah Sunda lainnya juga muncul, yakni Mangle yang hingga kini masih bertahan. Selain itu terbit pula Giwangkara, Gondewa, Kalawarta Kudjang dan Galura.

Sementara koran berbahasa Indonesia antara lain Negara Pasoendan, Harian Persatoean, dan Harian Pikiran Rakjat. Yang terakhir disebut bertahan hingga kini, bahkan menjadi koran daerah terbesar di dunia dengan nama Harian Umum Pikiran Rakyat.

C. Zaman Soeharto
Pada zaman Soeharto, kebebasan pers yang sempat terjadi pada masa Soekarno mengalami sedikit perubahan sesuai dengan arah politik negeri saat itu. Pada awal orde baru ini sistem politik yang dikembangkan adalah stabilitas politik sebagai syarat mutlak. Tak heran, pers yang harus ada pun adalah pers yang bebas namun bertanggung jawab, dalam artian tak mengganggu stabilitas politik negara.

Namun, tak jelasnya batasan stabilitas ini membuat negara bisa dengan gampang memberangus media mana pun yang dinilai tak sesuai keinginan (baca: kepentingan) penguasa. Alasannya satu: mengganggu stabilitas negara.

Tiga media, Tempo, Editor dan Detik, barangkali menjadi contoh nyata begitu besarnya sistem politik orde baru dalam memberangus media. Ketiganya dibredel, sama sekali tanpa alasan yang jelas. Sementara pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagai syarat berdirinya sebuah media, menjadi senjata ampuh bagi penguasa untuk melakukan pembreidelan.

D. Zaman Reformasi
KETIKA Soeharto akhirnya tumbang, kebebasan pers yang lebih dari 32 tahun terbelenggu kembali menemukan keleluasaannya.

Salah satu implikasi dari deregulasi itu adalah pemilik modal dan penerbit diberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Surat izin usaha yang belakangan bahkan menjadi tak diberlakukan lagi.
Akibatnya, terjadi booming media cetak, baik itu berupa koran harian, tabloid maupun majalah. Isi berita dari banyak media itu pun memiliki kecenderungan hampir sama: melampiaskan dendam atas keterkekangan peran dan fungsi kontrolnya selama 32 tahun di bawah rezim Soeharto.

Namun, persoalan lain kemudian muncul bahwa ancaman atas kehidupan pers datang dari sisi lain, yakni masyarakat, yang nota bene juga menjadi pangsa pasar dari media.

Kasus pendudukan Kantor Redaksi Jawa Pos, beberapa tahun lalu menjadi contoh konkret. Massa mengamuk akibat media ini sempat salah tik satu huruf, yang seharusnya ditulis N menjadi B. Seperti diketahui, tuts N dan B pada keboard komputer sangatlah dekat hingga kesalahan ketik menjadi sangat mungkin terjadi. Dan, celakanya, kesalahan N menjadi B justru terjadi pada kata Nabi.

Contoh lainnya yang juga terjadi adalah pengrusakan kantor redaksi Playboy Indonesia oleh warga, beberapa waktu lalu. Keterbukaan yang tak dibarengi dengan pendewasaan publik dan aturan hukum yang tegas membuat massa memilih bertindak sendiri. Dalam beragam kasus bahkan berujung pada kematian wartawan.

Patut menjadi catatan, adalah perlawanan publik yang sempat menimpa Majalah Tempo saat mereka dengan begitu optimistis menulis berita berjudul Ada Tommy di Tenabang. Perlawanan Tommy Winata, yang dengan kecerdasan dan kekuatan modalnya menyeret Tempo ke muka pengadilan nyaris saja berhasil, ketika sejumlah pimpinan Tempo sempat dinyatakan bersalah secara pidana telah menulis berita bohong. Seandainya, saat itu, Tommy melanjutkannya pada tuntutan perdata, misalnya dengan miminta ganti rugi Rp 1 triliun dan berhasil, maka habislah majalah besar dengan catatan sejarah yang amat panjang itu.

Selain ancaman dari masyarakat, kematian pers yang kemudian kerap terjadi juga datang dari ketaktersediaan modal yang cukup dari perusahaan penerbitan. Era reformasi memang membuat pendirian koran menjadi sangat gampang. Tapi, tanpa modal yang cukup, pers akan mati, hanya dalam lima, atau sepuluh kali penerbitan. Ini bertambah parah dengan semakin beratnya persaingan media akibat terlalu banyaknya media massa yang bermunculan.
Sebuah ilustrasi menarik dikemukakan mantan Pemimpin Perusahaan Metro Bandung (kini berubah menjadi Tribun Jabar), Agus Nugroho, saat koran tersebut merayakan HUT-nya yang pertama, 23 Februari 2001.

Menurutnya, adalah sebuah kegilaan menerbitkan koran harian di Ban dung pada saat seperti ini. Di samping sudah ada surat kabar harian yang sudah mapan, kota ini juga merupakan pasar paling besar untuk berbagai media cetak terbitan Jakarta, bahkan Surabaya.

Sampai awal 2001, kata dia, Metro Bandung adalah 'bungsu' dari ko ran-koran harian di kota ini. Sebe lumnya, sudah malang melintang ha rian Pikiran Rakyat yang mulai ter bit tahun 57, Bandung Pos (ter bit sejak tahun 1966) Ga la media (dulu Harian Gala - 1968, yang ke mudian digandeng PR), Su ara Baru (1998) dan Suara Publik (1998). Sebelumnya, di kota ini telah terbit dan beredar pula su rat kabar mingguan Sipa ta­hoenan, Giwangkara, Kujang, Mangle (majalah), Galura (Grup PR) dan Mitra Bisnis (Grup PR). Belakangan muncul Expose, BOM, Jabar Post, Indonesia-Indonesia, Detail Post, Deru, Deras, dan Bandung Bisnis.

Selain itu hampir seluruh surat kabar harian, mingguan, dwi mingguan, dan bulanan, yang diterbitkan di Jakarta, juga beredar di Bandung pada waktu edar yang sama dengan di Jakarta. Bahkan harian Republika dan Rakyat Merdeka dicetak juga di Bandung untuk mengejar waktu agar bisa lebih cepat sampai di tangan pembaca mereka.

Sementara itu, kota-kota potensial yang berdekatan dengan Ban dung juga sudah dikuasai surat kabar sendiri-sendiri. Di Bogor misalnya, ada Radar Bogor (Jawa Pos) dan Pakuan (PR), di Sukabumi juga terbit Radar Sukabumi para awaknya sekaligus menyiapkan Radar Cianjur, sedang Cirebon sudah dipagari Mitra Dialog (PR), Radar Ciebon (Jawa Pos), dan Garage Pos. Tasikmalaya dan seki tarnya dipagar oleh Priangan (PR). Sedangkan Banten yang baru sa ja lepas dari Jawa Barat, juga sudah sesak oleh setidaknya 14 pe nerbitan lokal, dan empat di antaranya masih konsisten terbit ter atur yakni Radar Banten (JP), Fajar Banten (PR) dan Banten Pos dan Gema Banten.

Begitulah. Sejak 1998 hingga 2001, di Jawa Barat setidaknya ada 48 koran baru yang muncul. Memang, sebagian be sar di antaranya terbit sekali-dua untuk kemudian entah ke ma na.
Mati bukan karena breidel, tapi lantaran tak ada lagi rupiah yang tersisa.(arief permadi)

Kapan hari jadi pers Indonesia? Sebagian orang mempertanyakan kriteria "pers Indonesia," atau kalau pun mau aman, lebih tepat disebut "pers di Indonesia." Ini bisa dimulai oleh surat kabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, di kota Batavia, Pulau Jawa. Kemungkinan besar Bataviasche Nouvelles adalah suratkabar pertama yang terbit di Pulau Jawa zaman Hindia Belanda. Pulau Jawa hari ini adalah bagian dari Indonesia.

Namun banyak yang tak sependapat. Bataviasche Nouvelles kan berbahasa Belanda? Mengapa tak memulai dari surat kabar yang berbahasa Melayu? Tidakkah bahasa ini yang kelak dipakai sebagai bahasa nasionalisme Indonesia? Pada 1850-an sudah ada surat kabar berbahasa Melayu terbit di Jawa, Sumatra dan pulau lain. Pemiliknya, termasuk wartawan Tionghoa Peranakan.

Beberapa orang lagi, terutama novelis Pramoedya Ananta Toer, berpendapat "pers Indonesia" dimulai oleh Medan Prijaji, terbitan Bandung pada Januari 1907. Pramoedya menulis buku Sang Pemula guna mengedepankan peranan Tirto Adhi Soerjo, penerbit Medan Prijaji. Pramoedya juga melandaskan Tetralogi Pulau Buru, secara fiktif, pada tokoh Tirto. Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono mengangkat Tirto sebagai "pahlawan nasional."

Ada juga yang berpendapat "pers Indonesia" mulai sejak Republik Indonesia ada. Artinya, "pers Indonesia" ini ya termasuk semua yang terbit, atau sudah terbit, pada Agustus 1945, di seluruh wilayah Indonesia. Namun wilayah "Indonesia" pada 1945 de factohanya Jawa dan Sumatra. Belanda praktis menguasai pulau-pulau lain. Bahkan sesudah perjanjian Linggarjati, wilayah Indonesia malah menciut cuma Jogyakarta dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa? Artinya, secara legal "Indonesia" baru diakui dunia internasional sesudah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949?

Saya mengumpulkan beberapa naskah terkait dengan isu ini. Isinya, banyak kritik terhadap keputusan Presiden Yudhoyono tersebut. Proyek ini diusung oleh Indexpress pimpinan Taufik Rahzen. Saya juga mempertanyakan cara mencari-cari hari jadi "pers Indonesia"?

Hari Jadi Pers Nasional Meremehkan Peran Surat Kabar Lain
Suryadi, peneliti Universiteit Leiden, berpendapat pemilihan Tirto Adhi Soerjo terkesan melebih-lebihkan peranan Tirto. Jasa Tirto tak lebih besar dari Dja Endar Moeda, misalnya, yang aktif di Sumatera, 1894-1910, atau Abdul Rivai lewat Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam, 1903-1907.

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu
Nasrul Azwar dari Minang berpendapat sejarah surat kabar Sumatra lebih tua dari Medan Prijaji. Sejak 7 Desember 1864, orang Minang untuk pertama kalinya membaca surat kabar berbahasa Melayu ketika edisi perdana Bintang Timoer diluncurkan.

Pers, Sejarah dan Rasialisme
Saya menulis soal istilah "pribumi" dan "non-pribumi" dalam melihat sejarah surat kabar di Jawa, Minahasa dan Minang. Tirto Adhi Soerjo keberatan ketika Boedi Oetomo mencalonkan Ernest Douwes Dekker sebagai editor suratkabar mereka. Alasannya, Boedi Oetomo hanya untuk orang Jawa, Sunda, Madura.


PERS MASA ORDE BARU 1

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya. Ekonomi Indonesia memang berkembang pesat pada saat itu, program transmigrasi, KB dan memerangi buta huruf pun sukses pada masa itu. Bahkan pendapatan per kapita pun melonjak naik. Namun itu hanyalah merupakan gambaran kebaikan dari kesuksesan pemerintah orde baru. Padahal didalam system pemerintahannya begitu banyak terjadi kecurangan- kecurangan, seperti merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kebebasan pers sangat terbatas, dan banyak terjadinya pembredelan media massa.


SEKILAS SEJARAH PERS INDONESIA

BERBICARA perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.

Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.

Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.

Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.

Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.

Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara

Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.

Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.

Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.

Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.

Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan

Pers kaum pribumi

Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.

Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.***

0 komentar:

Cara Instan Untuk Verifikasi PayPal !