Media merupakan salah satu alat promosi yang paling jitu. Banyak perusahaan menggunakan media—baik cetak maupun elektronik—untuk mengiklankan produk maupun jasa yang mereka tawarkan kepada publik. Media juga merupakan alat penyebaran ideologi yang sangat berpengaruh di era globalisasi ini, termasuk salah satunya adalah budaya. Oleh karena itu, media pun dituding sebagai salah satu pihak yang paling berpengaruh dalam pembentukan/pengubahan pola pikir, perilaku, maupun cara berbusana.
Kolonialisme—dimana banyak negara Barat, yang notabene berkulit putih, menjajah negara Timur, yang notabene berkulit berwarna—telah menciptakan gap antara kulit putih dan kulit berwarna. Gap ini menciptakan inferioritas di kalangan kulit berwarna sebagai pihak yang dijajah terhadap kalangan kulit putih sebagai pihak yang menjajah. Sangatlah dipahami jika sampai saat ini inferioritas ini masih mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang berasal dari Timur.
Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di seluruh belahan bumi pun membuat penyebaran budaya semakin cepat, perembesan satu budaya yang berasal dari negara-negara yang dianggap superior masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam televisi, orang-orang yang berada di balik layar, seperti para pekerja rumah produksi, produser, sutradara, hingga ke pemilik stasiun televisi biasanya orang-orang yang hanya mengejar keuntungan finansial untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun menayangkan program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang dianggap superior, untuk menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan menaikkan rating, dus bermakna semakin banyak iklan yang masuk, tanpa mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan suatu tindakan nyata untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara perlahan-lahan.
Haruskah kita salahkan generasi muda kita yang mungkin akan lebih bangga jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah kita salahkan mereka yang tidak lagi mengenal bahasa daerah masing-masing, wayang, tarian tradisional, dll? Haruskah kita salahkan mereka yang lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-mall, sembari makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise produk luar negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban keegoisan para pemilik modal, dan generasi yang lebih tua dari mereka yang menjejalkan budaya asing lewat media?
Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik—kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat,terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut. Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Bagaimana mereka akan mampu membuat produk saingan untuk menggeser tayangan-tayangan impor dari luar, agar lebih menarik para generasi muda jika mereka tidak memiliki modal yang cukup kuat? Menurut pengamatanku selama ini, kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak bijaksana.
Sebagai seorang ibu dari seorang anak perempuan yang telah menginjak masa remaja, satu hal yang bisa kusarankan: hubungan harmonis dan terbuka antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk ‘mengarahkan’ anak untuk tidak ikut terseret arus budaya yang tidak jelas juntrungannya, tanpa membuat anak-anak itu merasa digurui. Beda satu generasi antara kita dengan anak-anak kita sering membuat anak-anak itu berpikir bahwa kita telah masuk ke generasi katro, sehingga tidak mampu mengimbangi kemajuan cara berpikir anak-anak itu. Jangan sampai hal ini terjadi. Kita harus selalu mengikuti dan mendampingi anak-anak dalam menerima/mengalami hal-hal baru, kemudian kita perbincangkan dan mencari solusi bersama. Tidak semua sistem nilai dan ideologi yang diusung oleh program-program yang diimpor dari luar negeri—terutama Amerika dan Eropa—negatif. Kita sebagai orang tua yang harus aktif memilah dan memilih untuk anak-anak kita.
Sumber : Nana Podungge
Kolonialisme—dimana banyak negara Barat, yang notabene berkulit putih, menjajah negara Timur, yang notabene berkulit berwarna—telah menciptakan gap antara kulit putih dan kulit berwarna. Gap ini menciptakan inferioritas di kalangan kulit berwarna sebagai pihak yang dijajah terhadap kalangan kulit putih sebagai pihak yang menjajah. Sangatlah dipahami jika sampai saat ini inferioritas ini masih mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang berasal dari Timur.
Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di seluruh belahan bumi pun membuat penyebaran budaya semakin cepat, perembesan satu budaya yang berasal dari negara-negara yang dianggap superior masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam televisi, orang-orang yang berada di balik layar, seperti para pekerja rumah produksi, produser, sutradara, hingga ke pemilik stasiun televisi biasanya orang-orang yang hanya mengejar keuntungan finansial untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun menayangkan program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang dianggap superior, untuk menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan menaikkan rating, dus bermakna semakin banyak iklan yang masuk, tanpa mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan suatu tindakan nyata untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara perlahan-lahan.
Haruskah kita salahkan generasi muda kita yang mungkin akan lebih bangga jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah kita salahkan mereka yang tidak lagi mengenal bahasa daerah masing-masing, wayang, tarian tradisional, dll? Haruskah kita salahkan mereka yang lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-mall, sembari makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise produk luar negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban keegoisan para pemilik modal, dan generasi yang lebih tua dari mereka yang menjejalkan budaya asing lewat media?
Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik—kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat,terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut. Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Bagaimana mereka akan mampu membuat produk saingan untuk menggeser tayangan-tayangan impor dari luar, agar lebih menarik para generasi muda jika mereka tidak memiliki modal yang cukup kuat? Menurut pengamatanku selama ini, kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak bijaksana.
Sebagai seorang ibu dari seorang anak perempuan yang telah menginjak masa remaja, satu hal yang bisa kusarankan: hubungan harmonis dan terbuka antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk ‘mengarahkan’ anak untuk tidak ikut terseret arus budaya yang tidak jelas juntrungannya, tanpa membuat anak-anak itu merasa digurui. Beda satu generasi antara kita dengan anak-anak kita sering membuat anak-anak itu berpikir bahwa kita telah masuk ke generasi katro, sehingga tidak mampu mengimbangi kemajuan cara berpikir anak-anak itu. Jangan sampai hal ini terjadi. Kita harus selalu mengikuti dan mendampingi anak-anak dalam menerima/mengalami hal-hal baru, kemudian kita perbincangkan dan mencari solusi bersama. Tidak semua sistem nilai dan ideologi yang diusung oleh program-program yang diimpor dari luar negeri—terutama Amerika dan Eropa—negatif. Kita sebagai orang tua yang harus aktif memilah dan memilih untuk anak-anak kita.
Sumber : Nana Podungge
0 komentar:
Posting Komentar