Secara praktik, taktik konstruksi politik seperti ini dapat dijadikan senjata oleh para pelaku politik untuk memukul lawan politiknya dan juga untuk menunjukkan bahwa yang memukul adalah korban dari lawan politiknya.
Seperti diketahui bahwa awal mula munculnya kekisruhan politik internal PD dimulai ketika kasus suap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Sesmenpora) terkait pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang terkuak. Dalam kasus itu, nama sejumlah kader Demokrat diduga terlibat. Nama Bendahara Umum Demokrat, Muhammad Nazarudin, menjadi sangat populer dalam kasus ini.
Belum selesai kasus suap Sesmenpora, Nazaruddin kembali dituding telah memberi suap kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar. Tak tanggung-tanggung, suap yang diberikan Nazaruddin itu nilainya mencapai 120 ribu dollar Singapura. Permasalahan semakin runyam ketika Nazaruddin pergi ke Singapura dengan dalih berobat sehari sebelum KPK memutuskan melakukan pencekalan terhadapnya pada 24 Mei lalu demi kepentingan pemeriksaan hukum.
Tidak juga selesai sampai di sini, lalu tiba-tiba muncul pesan pendek (SMS) yang isinya memojokkan PD dan tokoh-tokohnya termasuk Presiden SBY. Yang menarik adalah sms tersebut mengatasnamakan Nazaruddin.
Akibat dari rentetan kasus-kasus di atas, PD mendapat sorotan negatif di mata publik. Bahkan media pun tidak henti-hentinya mengkonstruksi pemberitaan tentang PD secara negatif. Hal ini tentu menjadi pertanda buruk bagi PD sebagai partai yang selama ini dinilai publik sebagai partai yang bersih dari korupsi dan praktik suap.
Untuk itu, PD membutuhkan semacam konstruksi politik tandingan untuk mengkounternya. RP kemudian memunculkan nama Mr.A sebagai konstruksi politiknya. Mr.A dalam konstruksi politik RP dipandang sebagai otak dibalik penyebaran SMS yang isinya memojokkan PD dan Presiden SBY.
Konstruksi politik RP tentang Mr.A yang digambarkan sebagai tokoh politik lama dari partai lawan yang ingin menghancurkan PD dan Presiden SBY ini jelas merupakan upaya untuk mengatakan kepada publik bahwa PD adalah korban dari Mr.A.
Tujuan dari taktik konstruksi politik RP ini jelas ingin memunculkan spekulasi nama-nama berinisial ’A’ dari partai politik lain. Jika taktik ini berhasil, publik pun akan mengkonstruksikan hal yang serupa dengan RP.
(Sumber:http://www.indonesiamedia.com/2011/06/07/kasus-nazaruddin-membelah-demokrat/)
- Apabila dihubungkan dengan penjelasan Bill Kovack, yakni Sembilan Elemen Jurnalis kasus Nazzaruddin sudah salah dan masuk kedalam banyak kategori. Pada kasus ini wartawan dan media pun sudah terlalu kasar dalam segi penayangan beritanya. Hal ini tidak sesuai dengan elemen pertama yang disampaikan Bill, ia mengatakan bahwa “Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran”, kebanyakan wartawan dan pemberitaan di Negara kita adalah langsung menjudge seenak jidat, tanpa memiliki data yang akurat sudah langsung posting. Tentu saja hal ini akan berdampak buruk bagi publik.
- Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya, dalam kasus Nazzaruddin jurnalis tidak mencoba membuat sebuah kenyamanan bagi korban/pelaku. Hal ini dapat menyebabkan sebuah konflik, buktinya sampai sekarang Nazzaruddin enggan untuk pulang ke negaranya karena pemberitaan di media sudah tampak seperti ancaman bagi diriya, sedangkan dia adalah tetap warga Negara Indonesia yang harus dilindungi. Walaupun ternyata memang dia bersalah, maka ada hokum yang akan mengadilinya.
- Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. Pada hal ini jurnalis di berbagai media hanya membuat forum sendiri untuk mereka sendiri. Tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang mereka katakana adalah benar, namun tidak seperti itu juga caranya, Negara kita adalah Negara demokratis (konon katanya). Maka segala sesuatu bisa dibicarakan secara baik-baik melalu musyawarah.
0 komentar:
Posting Komentar