Cerita Untuk Andriani S. Kusni & Anak-Anakku
Atal S. Depari, pemimpin redaksi (pemred) Harian Umum Tabengan, Palangka Raya, suatu hari memeriksa sebuah tulisan wartawannya. Di tulisan tersebut sang wartawan menulis tentang seorang cantik. Lalu pemred bertanya kepada sang wartawan: “Bagaimana dan mengapa kau bisa mengatakan bahwa perempuan itu cantik. Seperti apa cantiknya perempuan yang kau angkat itu?”. Nah, uraian rinci tentang kecantikan si perempuan itulah yang disebut dengan in depth news(kedalaman berita). Cantik adalah suatu predikat dan kata sifat umum yang boleh dikatakan tidak melukiskan apa-apa. Dengan menyentuh soal in depth newsartinya sebuah berita tidak cukup hanya sebatas memenuhi patokan klasik 5W (what, where, when, who, why) dan 1 H (how).
Untuk dapat menuliskan sesuatu in depth, termasuk berita, tentu saja si penulis memerlukan data yang relatif lengkap dan acuan-acuan dari berbagai sumber. Data-data itu diperiksa kembali dan diperiksa silang menggunakan berbagai sumber, selain menggunakan berbagai nara sumber, juga memanfaatkan berbagai sumber perpustakaan tentang subyek yang sama. Di sini, lalu muncullah peran penting hasil-hasil penelitian, dan tersedianya perpustakaan yang padan sehingga memungkinkan penulis memperoleh tulisan in depth. Hasil-hasil penelitian dan acuan perpustakaan selain membantu guna memperoleh data-data yang relatif akurat, juga berfungsi sebagai bahan pembanding. Penggunaan metoda perbandingan kiranya memang membantu dalam melihat hal-ikhwal seadanya hal-ikhwal itu, tingkat perkembangan serta capaiannya. Membantu penulis untuk seminim mungkin luput dari evaluasi subyektif. Kalau pandangan demikian benar, maka tulisan in depth tidak bertentangan dengan tuntutan obyektivitas berita (news) atau tulisan non fiksi (non fiction writing).
Dalam tulisannya berjudul «Agustin Teras Narang : Usia Gubernur Bertmbah, Provinsi Kalteng Makin Gagah», Haris Lesmana, salah seorang redaktur Harian Umum Tabengan, Palangka Raya, antara lain menulis:
« Dalam perjalanan empat tahun memimpin provinsi ini, terlalu banyak kemajuan dicapai» (Tabengan, 12 Oktober 2009).
Di alinea lain, Haris Lesmana di Harian yang sama juga menulis :
Teras juga terbilang sukses memulihkan kekayaan alam Kalteng yang sudah dieksploitasi habis-habisan. Sebuah warisan buruk kebijakan masa lalu selama 60 tahun yang kurang berpihak kepada rakyat. Namun cepat dan juga pasti, suami Moenartining itu kini telah mengubah Provinsi Kalteng semakin gagah» (Tabengan, 12 Oktober 2009).
«Terlalu banyak kemajuan telah dicapai» hanya «dalam perjalanan empat tahun memimpin provinsi ini», dan «terbilang sukses memulihkan kekayaan alam Kalteng yang sudah dieksploitasi habis-habisan» nampaknya berbeda dengan penilaian Tim Evaluasi 14 Orang dari Universitas Gadjah Mada yang diundang oleh Agustin Teras Narang dan Ir. H. Achmad Diran selama 4 tahun. Evaluasi Tim sudah diterbitkan sebagai buku berjudul «Kalimantan Tengah Membangun Dari Pedalaman & Membangun Dengan Komitmen» (diterbitkan oleh Pemenritah Provinsi Kalimantan Tengah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol, Gadjah Lada dan The ATN Center, Yogyakarta, Agustus 2009, i-xvi + 243 hlm).
Kalau bacaan saya benar, buku tulisan Tim Evaluasi ini mengesankan penilaian yang sebaliknya dari yang dilukiskan oleh Hari Lesmana tentang pekerjaan Teras-Diran selama 4 tahun. Buku tersebut melukiskan justru di bawah pemerintahan Teras-Diran bukan pulihnya kekayaan alam Kalteng, tapi yang terjadi tetap pengurasan yang terus berlanjut. Bukannya « telah mengubah Provinsi Kalteng semakin gagah » tetapi justru membuat Kalimantan Tengah menjadi provinsi yang tingkat kerawanannya atau bahaya konfliknya kian meningkat atau meninggi. Saya tidak tahu, apakah saya yang salah membaca ataukah Haris Lesmana yang belum membaca laporan riset dan peringatan dari Tim Riset dari Universitas Gadjah Mada ini. Jika bacaan saya benar, maka perbedaan penilaian antara Tim Riset dari Gadjah Mada dan Haris Lesmana hanya menunjukkan terjeratnya Haris oleh subyektivisme. Dilihat dari ukuran tulisan in depth, maka tulisan Haris bukan hanya tidak in depth tapi juga tidak obyektif. Tulisan dan berita yang subyektif, padahal bukan fiksi, jika disiarkan akan mengelabui pembaca dengan citra-citra semu.
Kalau Haris Lesmana menulis:
“Teras juga terbilang sukses memulihkan kekayaan alam Kalteng yang sudah dieksploitasi habis-habisan. Sebuah warisan buruk kebijakan masa lalu selama 60 tahun yang kurang berpihak kepada rakyat”.
Enam puluh tahun ke belakang dari sekarang berarti 2005-60 = 45 tahun. Kalau dihitung sejak berdirinya di tahun 1957 maka provinsi Kalteng sekarang berusia 52 tahun. Artinya sejak tahun 1945 (kemerdekaan Republik Indonesia), “kekayaan alam Kalteng…. sudah dieksploitasi habis-habisan”. Sejak tahun 1945 itu pula “kebijakan” gubernur Kalteng “buruk” dan “kurang berpihak kepada rakyat”.(Sementara Kalteng berdiri sebagai provinsi pada 1952. Tjilik Riwut dan angkatannya masih bertempur melawan Belanda. Agaknya Haris Lesmana terlalu bersemangat memuji Teras hingga gagap berhitung, apalagi Harian Tabengan memang dimodali oleh keluarga Narang. Tidak salah memuji, tapi alangkah baiknya pujian dilakukan tanpa mengabaikan nalar dan data yang akurat).
Tjilik Riwut sebagai gubernur pertama memerintah provinsi Kalteng dari 1958-1967 (lihat: Tabloid Detak, Palangka Raya, 31 Agustus-05 September 2009). Jadi menurut penilaian Haris Lesmana Tjilik Riwut termasuk gubernur yang mempunyai kebijakan buruk dan pilihan politiknya “kurang berpihak kepada rakyat”, turut menyebabkan “kekayaan alam Kalteng “sudah dieksploitasi habis-habisan” sekalipun Tjilik Riwut dan angkatannya sudah menggadaikan nyawa dan kepala, bertempur mandi darah untuk Kalteng. Bukan seperti “kehidupan Teras di Senayan (yang) sangat gemerlap »(Tabengan, 12 Oktober 2009).
Memang orang bisa berobah, tapi setahu saya, sampai hembusan nafasnya yang penghabisan, Tjilik Riwut dalam soal kecintaan dan perjuangan untuk Kalteng yang berharkat dan bermartabat tidak berubah. Hal ini bisa dicek silang pada tokoh-tokoh tua yang masih hidup sekarang seperti Sabran Achmad, T.T. Suan, Dase Durasid, Tiyel Djelau, dan tetua-tetua daerah ini yang lain. Maka sangat keterlaluan jika mengatakan bahwa Tjilik Riwut dan angkatannya selama memerintah provinsi ini mentrapkan politik yang “tidak memihak rakyat”.
Menurut logika Haris Lesmana, satu-satunya gubernur yang menjalankan pilihan politik yang “memihak rakyat” dan “baik” adalah Agustin Teras Narang. Dengan penilaian demikian, maka pengakuan dan pemberian julukan “pahlawan nasional” kepada Tjilik Riwut tidak tepat dan selayaknya dicabut. Sangatlah aib bagi Republik Indonesia memberikan “gelar pahlawan” kepada orang yang tidak memihak rakyat dan menyebabkan “kekayaan alam Kalteng dieksploitasi habis-habisan” sehingga menimbulkan kesengsaraan bagi Uluh Kalteng. Berbeda halnya dengan semua pemberian bintang dan tanda jasa kepada Agustin Teras Narang. Demikian, jika kita melanjutkan logika Haris Lesmana yang memandang hanya Agustin Teras Narang-lah satu-satunya gubernur Kalteng sampai sekarang yang “memihak rakyat”, membuat Kalteng tampil “gagah”, “memulihkan kekayaan alam Kalteng” telah memberikan “terlalu banyak kemajuan” kepada Kalteng, “mengangkat harkat dan martabat Kalteng”, walaupun di bawah kekuasaan Teras-Diran pula terjadi “seorang pemuda Suyanto (23), warga Komplek Perumahan KPR-BTN Jalan Pipit 2 No. 116 Kelurahan Mentawa Baru Hilir, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kotawaringin Timur, tewas dengan cara gantung diri, Minggu 11/10, karena stress mengganggur” (Tabengan, 12 Oktober 2009). Sedangkan menurut Teras sendiri “kemiskinan di Provinsi berpenduduk kurang dari dua juta ini bermain di angka 30 persen” (Harian Tabengan, 14 Oktober 2009). Artinya sepertiga dari seluruh penduduk.
Dalam soal mengangkat “harkat dan martabat” Kalteng, khususnya Dayak, agaknya Haris Lesmana lupa mencatat peran Sarikat Dayak yang didirikan pada 18 Juli 1919 di Kuala Kapuas, 25 tahun setelah Pertemuan Damai Tumbang Anoi 1894. Lupa mencatat akan hal ini, Haris Lesmana melimpahkan segala jasa kepada gubernur yang sekarang, mengabaikan jasa para pendahulu (Lihat: Prof. Dr. Ahim S. Rusan et. al, “Sejarah Kalimantan Tengah”, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah”, Palangka Raya, 2006, hlm. 91).
Pemberian tanda jasa, bintang jasa dan julukan atau gelar, biasanya erat berhubungan dengan masalah politik dan nilai dominan pada suatu kurun waktu. Hal ini bukan hanya terjadi di skala nasional tetapi juga berlangsung di tingkat internasional. Misalnya pemberian Nobel Sastra atau Nobel Perdamaian. Demikian juga halnya dengan pemberian gelar pahlawan di Indonesia seperti yang dianugerahkan kepada Tien Soeharto atau Soeharto sendiri sebagai “bapak pembangunan”. Atau predikat “teroris” atau “pengkhianat” kepada para pejuang kemerdekaan oleh kolonialis Belanda. Karena itu mengukur keberhasilan dengan tanda, jasa, bintang jasa, gelar ini dan itu hendaknya perlu memperhatikan konteks situasi (terutama politik) dan nilai dominan pada kurun waktu itu. Tanda jasa, bintang jasa, gelar ini dan itu sebenarnya sangat nisbi. Contoh kenisbian ini diperlihatkan juga oleh pemutarbalikkan sejarah negeri kita sehingga diserukan agar ada “pelurusan sejarah” oleh sejumlah sejarawan.
Dilihat dari segi nilai dominan dan konteks sejarah dan situasi politik, maka tulisan Haris Lesmana barangkali jauh dari kualitas in depth news atau in depth writing atau in depth reporting. Tapi lebih dekat dengan sebuah propaganda, bahkan pamflet politik.
Dengan menampilkan citra semu melalui sebuah in depth news, in depth reportingatau in depth writing semu, maka pers hanya memainkan peran penipuan sadar untuk tujuan tertentu, melupakan peran mendidik dan penyadaran. ”Jembatan informasi” yang direntangkan adalah jembatan rapuh yang jika dilalui akan mencelakakan seperti halnya truk jatuh dengan segala muatannya di jembatan ulin yang patah tiang. Dari kecelakaan truk jatuh demikian memang ada inspirasi yang bisa dipungut, yaitu bagaimana mencegah pengulangan. Kategori beginilah yang ditampilkan oleh Haris Lesmana selaku redaktur Harian Tabengan. ***
Palangka Raya, Oktober 2009
Kusni Sulang
Pengantar:
Harian Tabengan yang dimodali oleh keluarga Narang, dimaksudkan sebagai“jembatan informasi bagi masyrakat Kalimantan Tengah. Jembatan informasi aktual, dan penting (bahkan vital) dalam menumbuhkan spirit membangun masyarakat Kalteng”, demikian Editorial Tabengan (12 Oktober 2009).
Agar para pembaca bisa menilai sendiri apa yang ditulis oleh Haris Lesmana, salah seorang redaktur Harian Tabengan, Palangka Raya, yang nomor perdananya keluar pada 12 Oktober 2009, berikut kami kutip tulisan tersebut selengkapnya. Tulisan ini terbit di bawah kolom “Inspirasi”.